Menikah
bagi orang yang bersyahwat namun tidak khawatir akan berbuat zina hukumnya
sunat, bagi yang tidak mempunyai syahwat hukumnya mubah, dan bagi yang takut
dirinya berbuat zina hukumnya wajib. Menikah lebih didahulukan daripada
pelaksanaan ibadah haji wajib. Melihat perempuan hukumnya haram, begitu juga
melihat dengan syahwat perempuan tua atau laki-laki yang belum tumbuh jenggot. Syarat-syarat dalam pernikahan: 1) Ada kejelasan akan kedua calon mempelai.
Perkawinan tidak sah apabila si wali berkata: “Aku menikahkanmu dengan salah
satu anak perempuanku”, sedangkan ia mempunyai lebih dari satu anak perempuan.
2) Ridha dari pihak suami yang sudah baligh dan dewasa, serta ridha dari istri
yang merdeka dan berakal. 3) Adanya wali. Seorang perempuan tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri dan selain walinya tidak boleh menikahkannya kecuali
jika ada halangan untuk menikahkannya. Yang paling berhak menikahkan anak
perempuan adalah bapaknya, kemudian kakeknya dan seterusnya ke atas, kemudian
anaknya, kemudian cucunya dan seterusnya ke bawah, kemudian saudara kandung
laki-laki, kemudian saudara kandung laki-laki seayah, anak laki-laki dari
saudara kandung laki-laki dst. 4) Adanya saksi yaitu dua orang laki-laki,
baligh, berakal dan adil. 5) Kedua mempelai tidak mempunyai larangan yang
melarang mereka untuk menikah, seperti: hubungan saudara sesusu, atau hubungan
nasab (keturuanan) atau hubungan perkawinan.
Wanita
yang haram untuk dinikahi ada dua: 1) Haram dinikahi untuk selamanya, ada
tiga macam: a) Karena hubungan nasab (keturunan). Mereka adalah ibu, nenek, dan
seterusnya ke atas, anak perempuan, cucu dan seterusnya ke bawah, saudara
perempuan secara muthlak, anak perempuan dari saudara perempuan, anak perempuan
dari anak laki-laki saudara perempuan, atau anak perempuan dari anak perempuan
saudara perempuan, anak perempuan dari dari saudara laki-laki secara muthlak,
anak perempuan dari dari anak perempuan saudara laki-laki dan anak perempuan
dari anak laki-laki saudara laki-laki, anak-anak perempuan dari mereka dan
seterusnya ke bawah, bibi (dari ayah atau ibu) dan seterusnya ke atas. b)
Karena hubungan persusuan. Pengharamannya seperti pengharaman dalam nasab
hingga dalam hubungan perkawinan. c) Karena hubungan perkawinan. Mereka adalah
ibu dari istri (mertua) dan nenek dari istri, para istri dari nasab utama
(bapak, kakek) dan seterusnya ke atas, anak-anak perempuan dari istri dan
seterusnya ke bawah. 2) Haram
dinikahi dalam batas waktu tertentu, ada dua: a) Karena perpaduan dalam
perkawinan, seperti memadukan antara dua perempuan bersaudara atau seorang
perempuan dengan bibinya dalam satu ikatan akad nikah. b) Adanya halangan yang
mana halangan tersebut dapat hilang, seperti istri orang lain.
Orang Tua
Tidak boleh memaksa anak lelakinya
untuk menikahi seseorang yang tidak diinginkannya. Dalam hal ini tidak wajib
bagi si anak mentaati mereka, dan ia tidak menjadi durhaka karenanya.
Talak
(Perceraian): Menceraikan istri dalam keadaan haidh, nifas, atau dalam
keadaan suci setelah digauli hukumnya haram, namun demikian talak tetap sah.
Menceraikan istri tanpa sebab hukumnya makhruh. Tapi kalau ada sebab maka hukumnya
halal, dan apabila pernikahannya itu membahayakan atau merugikan maka hukumnya
sunat. Dalam masalah talak, tidak wajib mentaati kedua orang tua. Siapa saja
yang ingin menceraikan istrinya, diharamkan baginya menjatuhkan talak lebih
dari satu. Ketika jatuh talak istri harus dalam keadaan suci dan belum digauli,
lalu menceraikannya dengan talak satu, dan membiarkannya tanpa menambah
talaknya lagi sampai selesai masa iddahnya. Bagi perempuan yang diceraikan
suaminya dengan talak raj’I, tidak boleh keluar dari rumahnya, atau suaminya
mengeluarkannya sebelum sempurna masa iddahnya. Talak dinyatakan sah jika
diucapkan, adapun kalau hanya sekedar niat saja, maka belum jatuh.