Kunjungi Iklan

Tuesday, December 24, 2013

MAKALAH AGAMA, PENGERTIAN, DASAR HUKUM DAN HIKMAH PERKAWINAN

PENGERTIAN, DASAR HUKUM DAN

HIKMAH PERKAWINAN

MAKALAH AGAMA

 










Oleh :
BINTI LAILATUR ROHMATIN
LAILI APRILIAWATI
ELOK SUCI MULYANINGTYAS
CHOIRUN NISAK
ADETAMA WIBISONO


UNIVERSITAS ISLAM KADIRI
EXCELLENT IN QUALITY
FAKULTAS/JURUSAN: EKONOMI/AKUNTANSI
TAHUN 2013


MOTTO
·         Hidup itu perlu perjuangan, dan berjuang itu harus selalu senyum, salam, sapa, santai, serius, semangat dan sukses.
·         Apa pun saya bisa jika saya mau. Man Jadda Wajada (Siapa Bersungguh-sungguh akan berhasil)
·         Tidak ada yang tidak mungkin, takdir itu dari Allah SWT, tapi nasib kita, kita sendiri yang menentukan.
·         Takdir itu bukan hanya pasrah, tapi harus diubah, ubahlah dan percayailah dengan Niat, Doa, Usaha dan Tawakkal
·         Orang malas dan tidak produktif merasa 1 hari seperti 1 tahun, tapi orang produktif dan pemikir merasa 1 hari hanya beberapa jam saja.
·         Hidup itu tidak ada yang sulit, yang ada belum tahu caranya, agar mudah cari tahu caranya.
·         Be positive, be different, be great, keep smile and fighting.
·         Hidup itu indah jika semuanya di jalani dengan ikhlas dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah, semua masalah pasti ada jalan keluarnya.




KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kita telah berusaha dengan kemampuan, tenaga, waktu dan fikiran untuk menghasilkan prestasi ini dalam rangka meningkatkan daya serap atau pemahaman mata kuliah agar mahasiswa lebih mengutamakan konsep ilmu yang diberikan karena hal tersebut merupakan masalah utama dalam proses belajar.

Berbagai informasi telah kami baca untuk mencapai tujuan penguasaan metode mata kuliah Agama yang lebih mendalam bagi mahasiswa.

Semoga makalah ini, pengertian, dasar hukum dan hikmah perkawinan” sebagai dasar atau fundemental untuk ilmu agama tentang pernikahan dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca yang ingin terus mendalami bidang keilmuannya. Selamat belajar semoga Allah SWT meridhoi. Aamiin.








DAFTAR ISI
MBAK TERUSIN YAW NI..SAMA YANG LAINNYA CHECK EN?

HALAMAN JUDUL
MOTTO
DAFTAR ISI









BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
              Telah diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan (Q.S.Dzariat :49).
“dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.
              Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
              Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
              Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Negara Indonesia misalnya, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang sangat serius dalam hal perkawinan ini. Pada makalah ini akan dijelaskan tentang masalah perkawinan menurut fiqh islam, kompilasi hukum islam dan undang – undang perkawinan.
2.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian perkawinan ?
B.    Bagaimana dasar hukum perkawinan?
C.    Apa hikmah perkawinan ?
D.    Bagaimana perbandingan antara fiqh, kompilasi hukum islam dan undang – undang perkawinan ?
E.     Bagaimana hukum pernikahan berbeda agama ?


3.      TUJUAN
A.    Untuk mengetahui pengertian dari perkawinan.
B.     Untuk mengetahui dasar hukum perkawinan.
C.     Untuk mengetahui hikmah perkawinan.
D.    Untuk mengetahui perbandingan antara fiqh, kompilasi hukum islam, dan undang – undang perkawinan.
E.     Untuk mengetahui hukum tentang pernikahan beda agama.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PERKAWINAN
              Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
              Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
              Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.
              Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

ANJURAN UNTUK MENIKAH DALAM ISLAM
Dari Al Quran dan Al Hadits :
               “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32).
              “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).
              ¨Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui¡¨ (Qs. Yaa Siin (36) : 36).
              Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik (Qs. An Nahl (16) : 72).
              Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
              Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).
              Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali. (Qs. An Nisaa (4) : 1).
              Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu : Surga) (Qs. An Nuur (24) : 26).
              ..Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..(Qs. An Nisaa’ (4) : 3).
              Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah berbuat kesesatan yang nyata. (Qs. Al Ahzaab (33) : 36).
              Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nuur:32)
              “Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra 32)
              “Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)
              “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (An-Nur 26)
              “Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).

MENIKAH DALAM KONDISI HAMIL
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
1.         Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.[1]
2.         Perempuan yang hamil karena berzina sebagaimana yang banyak terjadi pada zaman ini -wal ‘iyadzu billah, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini-.[2]
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, ia tidak boleh dinikahi sampai iddah[3]nya lepas, sedang ‘iddahnya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ.
“Dan perempuan-perempuan hamil, ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [Ath-Thalaq: 4]

[1] Lihatlah Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu 17/347-348, Al-Muhalla 10/263, dan Zad Al-Ma’ad 5/156.
[2] Lihatlah permasalahan di atas dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alam Al-Kutub), dan Al-Jami’ Li Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah 2/582-585.
[3] Sebagaimana dalam Nail Al-Authar 4/438, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “‘Iddahadalah istilah bagi waktu penantian seorang perempuan untuk menikah (lagi) setelah suaminya meninggal atau menceraikannya. (Berakhirnya waktu ini adalah) dengan (sebab dia) melahirkan (jika hamil), quru` (yaitu haid menurut pendapat yang kuat, -pen.), atau dengan (berlalunya) beberapa bulan.”



 
 



Hukum tentang menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram, sedang nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ.
 “Dan janganlah kalian berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum‘iddahnya habis.” [Al-Baqarah: 235]
              Tentang makna ayat ini, Ibnu Katsir, berkata “Yaitu, janganlah kalian melaksanakan akad nikah sampai ‘iddahnya lepas,” kemudian beliau berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”[4]
Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputar masalah ini. Oleh karena itu, dengan mengharap curahan taufik dan hidayah dari Allah Al-‘Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut.
              Tentang perempuan yang telah berzina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal pembolehan menikahinya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.
              Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara tentang keabsahan nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat Pertama: Bertaubat dari Perbuatan Zinanya yang Nista
Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di kalangan ulama:
1.         Dipersyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid.
2.         Tidak dipersyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy, dan Abu Hanifah.
Tarjih
              Yang lebih benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama: dipersyaratkan bertaubat.
              Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, baik yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya atau orang lain. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan.”[5]
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ.

[4] Dalam Tafsir-nya.
[5] Dalam Al-Fatawa 32/109.

 
“Lelaki pezina tidaklah menikah, kecuali dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik, sedang perempuan pezina tidaklah dinikahi, kecuali oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal tersebut telah diharamkan terhadap kaum mukminin.” [An-Nur: 3]
              Lalu, dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata,
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ : فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ : ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ تَنْكِحْهَا
“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy radhiyallahu ‘anhu membawa tawanan perang dari Makkah, sedang di Makkah ada seorang perempuan pelacur yang disebut dengan (nama) ‘Anaq, dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata, ‘Maka, saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, (apakah) saya (boleh) menikahi ‘Anaq?’.’ Martsad berkata, ‘Namun, beliau diam, lalu turunlah (ayat), ‘Dan perempuan pezina tidaklah dinikahi, kecuali oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik.’ Kemudian beliau memanggilku lalu membacakan (ayat) itu kepadaku seraya berkata, ‘Janganlah kamu menikahi dia.’.” [6]
              Ayat dan hadits ini secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum haram tersebut berlaku bila perempuan tersebut belum bertaubat. Adapun, kalau perempuan tersebut telah bertaubat, terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa.” [7]
Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima’, atau mengatakan bahwa ayat ini mansukh (hukumnya terhapus), itu adalah pendapat yang jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu tentang bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah[8]. Pendapat yang menyatakan keharaman menikah dengan perempuan pezina yang belum bertaubat juga dikuatkan oleh Asy-Syinqithy[9].
Keterangan lain:

[6] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`iy 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, serta disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullahdalam Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbab An-Nuzul.
[7] Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya.
[8] Dalam Al-Fatawa 32/112-116.
[9] Dalam Adhwa` Al-Bayan 6/71-84. Lihat pulalah Zad Al-Ma’ad 5/114-115.

 
 



              Sebagian ulama berpendapat bahwa kesungguhan taubat perempuan pezina ini perlu diketahui dengan cara dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy[10], diriwayatkan dari Umar dan Ibnu ‘Abbas, serta merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah[11]kelihatan condong ke pendapat ini.
Akan tetapi, Ibnu Qudamah berpendapat lain. Beliau berkata, “Seorang muslim tidak pantas mengajak perempuan untuk berzina dan meminta (untuk berzina) karena permintaannya ini (dilakukan) pada saat berkhalwat (berduaan), padahal (seorang muslim) tidak halal berkhalwat dengan ajnabiyah ‘perempuan yang bukan mahram’, walaupun untuk mengajarkan Al-Qur`an kepada (ajnabiyah) tersebut. Oleh karena itu, bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayu (ajnabiyah) tersebut untuk berzina?”[12]
              Oleh karena itu, hal yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar lain. Taubat yang benar mengandung lima hal:
1.         Ikhlas karena Allah.
2.         Menyesali perbuatannya.
3.         Meninggalkan dosa tersebut.
4.         Berazam dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa tersebut.
5.         Dilakukan pada waktu taubat masih bisa diterima, yakni sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
              Namun, di sini bukan tempat untuk menguraikan dalil-dalil tentang lima hal ini.Wallahu A’lam.
 Syarat Kedua: ‘Iddah Telah Lepas
              Para ulama berbeda pendapat tentang ‘iddah yang telah berlalu, apakah merupakan syarat yang membolehkan seseorang untuk menikahi perempuan pezina atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini:
Pertama: wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin Abdurrahman, Malik, Ats-Tsaury, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua: tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iy dan Abu Hanifah, tetapi keduanya berbeda pendapat tentang menjima’ perempuan tersebut:
1.        

[10] Dalam Al-Inshaf 8/133.
[11] Dalam Al-Fatawa 32/125.
[12] Dalam Al-Mughny 9/564.

 
Menurut Asy-Syafi’iy, seorang lelaki boleh melakukan akad nikah dengan perempuan pezina dan boleh berjima’ setelah akad, baik lelaki yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya maupun orang lain.
2.         Sedangkan, Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang lelaki boleh melakukan akad nikah dan boleh berjima’ dengan perempuan pezina tersebut apabila dia yang menzinahi perempuan tersebut. Namun kalau bukan dia yang menzinahi perempuan itu, dia boleh melakukan akad nikah, tetapi tidak boleh berjima’sampai istibra` ‘rahim telah tampak kosong dari janin’ dalam masa sekali haid atau sampai melahirkan (kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil).
Tarjih
Yang lebih benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama: wajib ‘iddah, berdasarkan dalil-dalil berikut.
Dalil pertama, hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
“Janganlah mempergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan, jangan pula (mempergauli perempuan) yang tidak hamil sampai ia telah haid sebanyak sekali.”[13]
Dalil kedua, hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa (Nabi) bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, janganlah ia menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” [14]
Dalil ketiga, hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.

[13] Diriwayatkan oleh Ahmad 3/62, 87, Abu Dawud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307. Di dalam sanadnya, ada rawi yang bernama Syarik bin Abdullah An-Nakha’iy, sedang ia lemah karena hafalannya jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187.
[14] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/108, Abu Dawud no. 2158, At-Tirmidzy no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Sa’d dalamAth-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137.

 
“Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Fusthath. Beliau bersabda, ‘Barangkali lelaki itu ingin menggauli perempuan tersebut?’ (Para sahabat) menjawab, ‘Benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,‘Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknat lelaki itu dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana bisa ia mewarisinya, sedangkan itu tidak halal baginya, dan bagaimana bisa ia memperbudakkannya, sedangkan ia tidak halal baginya’.”


              Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan keharaman menikahi perempuan hamil, baik kehamilan itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu menikahi lelaki yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamaran, -pent.), atau karena zina.”
              Dari sini, tampaklah kekuatan pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Arab Saudi). Wallahu A’lam.
Keterangan lain:
Dari dalil-dalil yang disebutkan di atas, tampak bahwa perempuan yang hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai ia melahirkan maka hal ini adalah ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina tersebut. Hal ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ.
“Dan perempuan-perempuan hamil, ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [Ath-Thalaq: 4]
              Adapun perempuan pezina yang kehamilannya belum tampak, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan pezina. Sebagian ulama menyatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibra` dalam masa sekali haid, sedangkan sebagian ulama lain berpendapat dengan tiga kali haid, yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
              Namun, pendapat yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad -dalam satu riwayat- adalah cukup dengan istibra` dalam masa sekali haid. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Adapun ‘iddah dalam masa tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ.
“Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya) menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).” [Al-Baqarah: 228]



Simpulan[15]
Pertama: tidak boleh menikah dengan perempuan pezina, kecuali dengan dua syarat: perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan ‘iddahnya telah berlalu.
Kedua: ketentuan seputar perempuan pezina yang ‘iddahnya dianggap telah berlalu adalah sebagai berikut.
1.         Kalau hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan.
2.         Kalau belum hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid sekali semenjak berzina tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.

HUKUM PERKAWINAN
              Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
1.      Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
2.      Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)
3.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
4.      Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
5.     

[15] Lihatlah pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf 8/132-133, Takmilah Al-Majmu 17/348-349, Raudhah Ath-Thalibin 8/375, Bidayah Al-Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zad Al-Ma’ad5/104-105, 154-155, Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan Jami’ Li Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
 
Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.


RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
1.         Calon suami
a.       Syarat calon suami
b.      Islam
c.       Laki-laki yang tertentu
d.      Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
e.       Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
f.       Bukan dalam ihram haji atau umroh
g.      Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
h.      Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
i.        Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
2.         Calon istri
Syarat – syarat calon mempelai :
a)        Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
b)        Keduanya sama-sama beragama islam.
c)        Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
d)       Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16.
e)        Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.
3.         Wali nikah dari mempelai perempuan
Jenis-jenis wali
*             Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
*             Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
*             Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
*             Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
Syarat – syarat wali :
a.         Telah dewasa dan berakal sehat
b.        Laki – laki. Tidak boleh perempuan.
c.         Muslim
d.        Orang merdeka
e.         Tidak berada dalam pengampuan
f.         Berpikiran baik
g.        Adil
h.        Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
                   UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.
4.         Dua orang saksi
Syarat – syarat saksi :
a.         Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
b.        Kedua saksi itu adalah bergama islam.
c.         Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
d.        Kedua saksi itu adalah laki – laki.
e.         Kedua saksi itu bersifat adil.
f.         Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
g.       Telah Pubertas.
h.       Memahami isi lafadzh ijab qobul.
i.         Berakal
j.         Dapat mendengar,melihat dan membaca.
          UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.
5.         Ijab dan Qabul
          Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Syarat ijab
a.       Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
b.      Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
c.       Diucapkan oleh wali atau wakilnya
d.      Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
e.       Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
          Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".
Syarat qobul
a.       Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
b.      Tidak ada perkataan sindiran
c.       Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
d.      Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
e.       Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
f.       Menyebut nama calon istri
g.      Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
          Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku".
          Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
          Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin
Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu.
          Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.
          UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara jelas mengatur dalam Pasal 27, 28, dan 29.

B.     DASAR HUKUM PERKAWINAN
1.      Menurut Fiqh Munakahat
a.       Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut:
Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf  ayat 189 berbunyi :
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf  : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah).
b.        Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).

2.      Menurut Undang – Undang Perkawinan Tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2)  UU Perkawinan yang rumusannya :[7]
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.

3.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[8]
C.    HIKMAH PERKAWINAN
1.      Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
2.      Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
3.      Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4.      Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam mencukupi keluarga.
5.      Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6.      Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.[9]
7.      Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
8.      Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
9.      Memelihara kesucian diri
10.  Melaksanakan tuntutan syariat
11.  Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
12.  Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
13.  Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
14.  Dapat mengeratkan silaturahimi.

Dalil-dalil Anjuran untuk menikah:
1.      Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada keduanya Allah memeperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-Nisaa : 1)
2.      Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nuur : 32)
3.      Dan orang-orang yang tidak mampu berkawin hendaklah menjaga kesucian(dari)nya. Sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya. (An-Nuur : 33)
4.      Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Ruum : 21)
5.      Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhammu Maha Kuasa. (Al-Furqaan : 54)
6.      Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dari padanya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya istrinya itu mengandung kandungan yang ringan dan teruslah dia merasa ringan. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah Tuhannya seraya berkata "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (Al-Araaf :189)
7.      Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan bertambah. Dan segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya. (Ar-Rad : 8)
8.      Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapapun yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapapun yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendaki) dan Dia menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Asy-Syuura : 49-50)


D.    ANALISIS PERBANDINGAN
1.      Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh Munakahat sebagai hukum agama mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan melihat Pasal 2 ayat (1)  tentang landasan hukum perkawinan itu berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh munakahat tanpa melihat mazhab fiqh tertentu.
2.      KHI dan UU Perkawinan
KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu dan materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan untuk itu seluruh materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun rumusannya sedikit berbeda. Pasal-pasal KHI yang diatur diluar perundang-undangan merupakan pelengkap yang diambil dari fiqh munakahat, terutama menurut mazhab Syafi’iy.
3.      Fiqh Munakahat dan KHI
Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan  tentang perkawinan dengan segala kemungkinannya. dan dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.

E.     HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Hukum pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama. Selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbeda-beda.
Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di seluruh dunia, namun tetap saja sering muncul pertanyaan menyangkut perihal pernikahan. Bolehkah seorang muslim menikahi seorang yang non muslim jika boleh, bagaimana islam menyikapi hal tersebut?
Mari kita lihat dari dua sudut pandang pada hukum pernikahan berbeda agama ini terlebih dahulu. Pernikahan beda agama, dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan pasangan yang menikah, yaitu:
seorang laki-laki muslim menikahi perempuan dan sebaliknya, seorang muslim perempuan yang menikahi seorang laki-laki yang non muslim, pembagian ini dilakukan karena hukum di antaranya masing-masing berbeda. Bagaimanakah hukumnya dalam islam?

Hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim (beda agama)
Pernikahan seorang lelaki muslim menikahi seorang yang non muslim dapat diperbolehkan, tapi di sisi lain juga dilarang dalam islam, untuk itu terlebih dahulu sebaiknya kita memahami terlebih dahulu sudut pandang dari non muslim itu sendiri.
1.      Laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al quran,  Surat Al Maidah(5):5,
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
2.      Lelaki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud dengan non muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan dari Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al Baqarah(2):222
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.
Dari al quran al Baqarah(2):222 sudah jelas tertulis bahwa:
"...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman..."
Pernikahan seorang muslim perempuan sudah menjadi hal mutlak diharamkan dalam islam, jika seorang perempuan tetap memaksakan diri untuk menikahi lelaki yang tidak segama dengannya, maka apapun yang mereka lakukan selama bersama sebagai suami istri dianggap sebagai perbuatan zina.

Kesimpulannya:
Seorang laki-laki muslim boleh menikahi perempuan yang bukan non muslim selama perempuan itu menganut agama samawi, apabila lelaki muslim menikahi perempuan non muslim yang bukan agama samawi, maka hukumnya haram.
Sedangkan bagi perempuan muslim diharamkan baginya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak seiman.





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Salah satu hikmah perkawinan adalah bisa menghindarkan perbuatan maksiat dan melanjutkan keturunan.
Dasar hukum perkawinan menurut fiqh salah satunya yaitu disebutkan dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 dan dalil As-Sunnah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah. Perkawinan diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) dan menurut KHI diatur dalam Pasal 2 dan 3.
Apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.

B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Abidin Slamet, Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat I. Bandung : CV Pustaka Setia
Al-Utsaiin Muhammad Sholeh, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud. 1991. Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga. Surabaya : Risalah Gusti
Idris ramulyo Muh. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Rasjid Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Syarifuddin Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan. Jakarta : Kencana
http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf (diakses tanggal 10 Maret 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam (diakses pada tanggal 19 Maret 2013)





[7] Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 50
[8] Dikuti dari  http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 maret 2012
[9] Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), Hlm.