PENCUCIAN UANG
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan
yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta
kekayaan yang diperoleh daroi hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi
harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Sesuai ndengan
pasal 2 Undang- undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 25 Tahun 2003, tindak pidana
yang menjadi pemicu terjadinya tindak pidana pencucian uang meliputi korupsi,
penyuapan, penyelundupan barang/tenaga kerja/imigran,perbankan , narkotika,
psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/senjata gelap, penculikan,
terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan.
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang
serius terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara
keseluruhan.Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi
dan bersifat transnasional yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup
besar.
Istilah pencucian uang berasal dari bahasa
Inggris, yakni money laundering. Apa yang dimaksud dengan money laundering,
memang tidak ada definisi yang universal, karena baik Negara-negara maju dan
Negara-negara dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi sendiri-sendiri
berdasarkan prioritas dan perspetif yang berbeda. Namun para ahli hukum di
Indonesia telah sepakat mengartikan Money Laundering dengan pencucian
uang.
Pengertian pencucian uang (money laundering)
telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Menurut Welling, Money
laundering adalah
“ The process by which one conceals the
existence, illegal source, or illegal application of income, and then disguises
that income to make it appear legitimate.
Demikian juga dengan Department Of justice
Kanada mengemukakan bahwa:
“Money laundering is the conversion of
transfer of property, knowing that such property is derived from criminal
activity, for the purpose of concealing the illicit nature and origin of
the property from govermentauthorities.”
Dari beberapa definisi pencuician uang, dapat
didimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan (berupoa proses) yang
dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu
uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal usul
uang tersebjut dari pemerintah
atau otoritas yang berwenang melakukan
penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang
tersebut mke da;lam sisitem pembayaran (Financial system) sehingga
apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka
keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah.
Pengertian pencucian uang juga termuat dalam The
United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotics Drugs And
phsychotropic Substance of 1988 (konvensi PBB) yang disahkan pada tanggal
19 Desember 1988 di Venna, yang kemjudian diratifikasi dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 19997.
Secara umum pencucian uang merupakan metode
untuk menyembunyikan , memindahkan, dan menggunakan hasil dari tindak pidana
kegiatan dari organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan
narkotika, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money
Laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan
asset(pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa
terdeteksin bahwa asset tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Melalui money
laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan
hukum diubah menjadi asset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumbefr yang
sah.
Hasil
tindak pidana dan pemberantasan pencucian uang:
Pemberantasan kegiatan money laundering
(pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan
bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi
Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan
pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in
Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi
oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi
tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan
pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah
agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau
menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini adalah beberapa langkah yang
telah diambil Pemerintah RI untuk menindaklanjuti.
komitmen pemberantasan kegiatan pencucian
uang.
1.
Undang-undang
Yang Berkaitan dengan Psikotropika
Pemerintah telah
menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi
Psikotropika 1971,
UU No. 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri
Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor
Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata
cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut
tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
2.
Undang-undang
Yang Berkaitan dengan Narkotika
Pemerintah telah
menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang
Narkotika yang menggantikan
UU No. 9 Tahun
1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang
dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22
Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam
pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
3.
UU No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 31 ayat (1)
mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk
menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu
apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga
merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.
Penjelasan atas
ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu
antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari
kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan
pencucian uang.
4.
UU No. 24 Tahun
1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana
diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana
dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan
landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur
sebagai berikut.
“Setiap penduduk
wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang
dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia”.
Keterangan dan
data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau
maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
5.
Ketentuan Bank
Indonesia
Banyak sekali
ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak
langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara
administratif, antara lain:
a.
Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan
Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan
ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar
atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu, bagi setiap orang
yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan
jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) selain wajib
mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.
b.
Surat Cara
Pembelian Saham Bank Umum Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang
digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal
dari dan untuk tujuan money laundering.
c.
PBI No.
2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur
bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon pemegang saham
bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal
dari dan untuk tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan
bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau pembelian
saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
d.
PBI No.
1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience Director) dan Penerapan
Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum PBI ini bertujuan untuk
memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank
diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya sebagai Compliance
Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan
untuk membentuk Satuan kerja Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan
terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
e.
PBI No.
3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas
oleh Bank Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan
transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya,
WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia, kantor bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini
sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya
transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang.
f.
Peraturan Bank
Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal Nasabah (Know Your
Customers Principles) Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil
kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan
sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas
nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan
adanyan tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang
dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip
mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle
(KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting
dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka
penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa
keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus
mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam
kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi
FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core
Principles For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
Prinsip KYC pada dasarnya bertujuan
untuk :
a.
Membantu bank
agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan yang
dilakukan nasabah;
b.
Memastikan
kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku;
c.
Menegakkan
prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
d.
Mengurangi risiko
dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan.
e.
Melindungi
reputasi bank.
Adapun pokok-pokok yang diatur dalam konsep
PBI ini sebagian besar mengakomodir butir-butir rekomendasi FATF khususnya yang
berkaitan dengan Know Your Customer Principles, antara lain:
·
Kewajiban bank
untuk memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan nasabah, dan pemantauan
kegiatan nasabah dalam rangka penerapan prinsip pengenalan nasabah;
·
Prosedur
penerimaan dan identifikasi nasabah;
·
Persetujuan
pembukaan rekening;
·
Larangan
pembukaan rekening;
·
Kewajiban bank
untuk melakukan pemantauan nasabah;
·
Kewajiban bank
untuk memiliki pedoman intern prinsip pengenalan nasabah;
·
Kewajiban bank
untuk melaporkan dalam hal terdapat indikasi transaksi yang mencurigakan dan
Transaksi keuangan tunai senilai Rp. 500.000.000 keatas yang dilakukan
seseorang dalam satu hari kepada PPATK
·
Penerapan prinsip
pengenalan nasabah pada kantor bank di luar negeri bagi bank yang berbadan
hukum Indonesia.
Selain peraturan perundang-undangan tersebut
masih ada lagi peraturan perundangundangan lain yang baik langsung maupun tidak
langsung mempunyai dampak terhadap pencegahan dan pemberantasan money
laundering, seperti Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dalam Pasal 36 (a) menyatakan bahwa
perusahaan sekuritas dan penasihat investasi wajib mengetahui latar belakang,
keadaan keuangan dan tujuan investasi dari nasabahnya. Undang-undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam konteks
kepentingan nasional ditetapkannya undang-undang tentang tindak npidana
pencucian uang merupakan penegasan bahwa pemerintah dan sektor swasta bukan
merupakan bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari masalah, baik di sector
ekonomi, keuangan maupun perbankan. Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh
suatu Negara untuk ndapat mencegah dan memberantas praktik pencucian uang
adalah dengan membentuk undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang
dan menghukum dengan berat para pelaku tersebut. Dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini,
tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain
kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang
yang terdiri atas :
a.
Penempatan (
placement)
b.
Transfer (layering)
c.
Menggunakan harta
kekayaan (integration)
Kewajiban
melapor oleh penyedia jasa keuangan (PJK)
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, dalam Undang-undang ini dibentuk pula Pusat
Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) , yang bertugas:
a.
Mengumpulkan,
menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai
dengan undang-undang ini;
b.
Memantau catatan
dalam buku daftar pengecualian Yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan
c.
Membuat pedoman mengenai
tata cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
d.
Memberikan
nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang
diperoleh oleh PPATK sesuai ketentuan dalam UU ini ;
e.
Mengeluarkan
pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang
ditentukan dalam UU ini atau Peraturan perundang-undangan lain, dan membantu
dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f.
Memberikan
rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang;
g.
Melaporkan hasil
analisis transaksi yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada
Kepolisian dan Kejaksaan;
h.
Membuat dan
memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan
lainnya secara berkala 6 ( enam bulan selkali) kepada Presiden, DPR , dan
lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Disamping itu, untuk memperlancar proses
peradilan tindak pidana pencucian uang, undang-undang ini mengatur kewenangan
penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk
dapat meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan.
Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum , atau hakim
untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan
setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka atau terdakwa.
Selain kekhususan di atas, undang-undang ini
juga mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in
absentia ) yaitu dalam hal terdakwa telah melarikan diri ke luar negeri atau
telah dipanggil 3 kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan nsela dapat
meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
Akan tetapi, ketentuan dalam Undang-undang
tersebut dirasakan belum memenuhi standar Imternasional serta perkembangan
proses peradilan tindak pidana pencucian uang perlu diubah agar supaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan
secara efektif. Oleh karena itu, disempurnakan melalui Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.