Kunjungi Iklan

Monday, December 23, 2013

Pencucian Uang

PENCUCIAN UANG
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh daroi hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Sesuai ndengan pasal 2 Undang- undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 25 Tahun 2003, tindak pidana yang menjadi pemicu terjadinya tindak pidana pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang/tenaga kerja/imigran,perbankan , narkotika, psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan.
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan.Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnasional yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup besar.
Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money laundering. Apa yang dimaksud dengan money laundering, memang tidak ada definisi yang universal, karena baik Negara-negara maju dan Negara-negara dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritas dan perspetif yang berbeda. Namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan Money Laundering dengan pencucian uang.
Pengertian pencucian uang (money laundering) telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Menurut Welling, Money laundering adalah
“ The process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and then disguises that income to make it appear legitimate.
Demikian juga dengan Department Of justice Kanada mengemukakan bahwa:
“Money laundering is the conversion of transfer of property, knowing that such property is derived from criminal activity, for the purpose of concealing the illicit nature  and origin of the property from govermentauthorities.”
Dari beberapa definisi pencuician uang, dapat didimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan (berupoa proses) yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebjut dari pemerintah
atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut mke da;lam sisitem pembayaran (Financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah.
Pengertian pencucian uang juga termuat dalam The United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotics Drugs And phsychotropic Substance of 1988 (konvensi PBB) yang disahkan pada tanggal 19 Desember 1988 di Venna, yang kemjudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 19997.
Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan , memindahkan, dan menggunakan hasil dari tindak pidana kegiatan dari organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money Laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan asset(pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksin bahwa asset tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi asset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumbefr yang sah.
Hasil tindak pidana dan pemberantasan pencucian uang:
Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini adalah beberapa langkah yang telah diambil Pemerintah RI untuk menindaklanjuti.
komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang.
1.      Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,
UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.
2.      Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika
Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikan
UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.
3.      UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.
4.      UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut.
“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
5.      Ketentuan Bank Indonesia
Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif, antara lain:
a.       Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu, bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus  juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.
b.      Surat  Cara Pembelian Saham Bank Umum Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money laundering.
c.       PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
d.      PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
e.      PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang.
f.        Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal Nasabah (Know Your Customers Principles) Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party. Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya bertujuan untuk :
a.       Membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan nasabah;
b.      Memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku;
c.       Menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
d.      Mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan.
e.      Melindungi reputasi bank.
Adapun pokok-pokok yang diatur dalam konsep PBI ini sebagian besar mengakomodir butir-butir rekomendasi FATF khususnya yang berkaitan dengan Know Your Customer Principles, antara lain:
·         Kewajiban bank untuk memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan nasabah, dan pemantauan kegiatan nasabah dalam rangka penerapan prinsip pengenalan nasabah;
·         Prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah;
·         Persetujuan pembukaan rekening;
·         Larangan pembukaan rekening;
·         Kewajiban bank untuk melakukan pemantauan nasabah;
·         Kewajiban bank untuk memiliki pedoman intern prinsip pengenalan nasabah;
·         Kewajiban bank untuk melaporkan dalam hal terdapat indikasi transaksi yang mencurigakan dan Transaksi keuangan tunai senilai Rp. 500.000.000 keatas yang dilakukan seseorang dalam satu hari kepada PPATK
·         Penerapan prinsip pengenalan nasabah pada kantor bank di luar negeri bagi bank yang berbadan hukum Indonesia.
Selain peraturan perundang-undangan tersebut masih ada lagi peraturan perundangundangan lain yang baik langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak terhadap pencegahan dan pemberantasan money laundering, seperti Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dalam Pasal 36 (a) menyatakan bahwa perusahaan sekuritas dan penasihat investasi wajib mengetahui latar belakang, keadaan keuangan dan tujuan investasi dari nasabahnya. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang  Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya undang-undang tentang tindak npidana pencucian uang merupakan penegasan bahwa pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari masalah, baik di sector ekonomi, keuangan maupun perbankan. Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh suatu Negara untuk ndapat mencegah dan memberantas praktik pencucian uang adalah dengan membentuk undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum dengan berat para pelaku tersebut. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini, tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas :
a.       Penempatan ( placement)
b.      Transfer (layering)
c.       Menggunakan harta kekayaan (integration)

Kewajiban melapor oleh penyedia jasa keuangan (PJK)
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dalam Undang-undang ini dibentuk pula Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) , yang bertugas:
a.       Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan undang-undang ini;
b.      Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian Yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan
c.       Membuat pedoman mengenai tata cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
d.      Memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai ketentuan dalam UU ini ;
e.      Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam UU ini atau Peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f.        Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g.       Melaporkan hasil analisis transaksi yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h.      Membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 ( enam bulan selkali) kepada Presiden, DPR , dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Disamping itu, untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang, undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum , atau hakim untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka atau terdakwa.
Selain kekhususan di atas, undang-undang ini juga mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in absentia ) yaitu dalam hal terdakwa telah melarikan diri ke luar negeri atau telah dipanggil 3 kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan nsela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.

Akan tetapi, ketentuan dalam Undang-undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar Imternasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang perlu diubah agar supaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang  dapat berjalan secara efektif. Oleh karena itu, disempurnakan  melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.